Rabu, 27 Juli 2016

Pengertian, Fungsi Dan Kedudukan UUD 1945

UUD 1945 adalah hukum dasar tertulis yang mengikat pemerintah, lembaga-lembaga negara, lembaga masyarakat, dan juga mengikat setiap warga negara Indonesia dimanapun mereka berada dan juga mengikat setiap penduduk yang berada di wilayah Negara Republik Indonesia.
Pengertian, Fungsi Dan Kedudukan UUD 1945
UUD 1945

A. Pengertian UUD 1945

Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Dasar 1945 angka I dinyatakan bahwa: “ Undang-undang Dasar suatu negara ialah hanya sebagian dari hukumnya dasar Negara itu. Undang-undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedang disampingnya Undang-undang dasar itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan Negara meskipun tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan Negara meskipun tidak tertulis”.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan, pengertian kata Undang-Undang Dasar menurut UUD 1945, mempunyai pengertian yang lebih sempit daripada pengertian hukum dasar, Karena yang dimaksud Undang-undang Dasar adalah hukum dasar yang tertulis, sedangkan pengertiann hukum dasar mencakup juga hukum dasar yang tidak tertulis.
Di samping istilah undang-undang dasar, dipergunakan juga istilah lain yaitu Konstitusi. Istilah konstitusi berasal dari bahasa inggris constitution atau dari bahasa Belanda Constitutie. Kata konstitusi mempunyai pengertian yang lebih luas dari Undang-undang dasar karena pengertian Undang-undang Dasar hanya meliputi konstitusi yang tertulis saja, selain itu masih terdapat konstitusi yang tidak tertulis, yang tidak tercakup dalam pengertian Undang-undang Dasar.
Selain hukum dasar yang tertulis yaitu UUD masih terdapat lagi hukum dasar yang tidak tertulis, tetapi berlaku dan dipatuhi oleh para pendukungnya, yaitu yang lazim disebut konvensi, yang berasal dari bahasa Inggris convention, yang dalam peristilahan ketatanegaraan disebut kebiasaan-kebiasaan ketatanegaraan. Misalnya , kebiasaan yang dilakukan oleh Presiden RI, setiap tanggal 16 agustus melakukan pidato kenegaraan di muka Sidang Paripurna DPR. Pada tahun 1945 hingga tahun 1949, karena adanya maklumat pemerintah tertanggal 14 November 1945, yang telah mengubah system pemerintahan dari cabinet presidensial ke cabinet parlementer. Tetapi apabila keadaan Negara bahaya atau genting, cabinet beruah menjadi presidensiil, dan sewaktu-waktu keadaan Negara menjadi aman kebinet berubeh kembali menjadi parlementer lagi. Terhadap tindakan-tindakan tersebut tidak ada peraturan yang tegas secara tertulis, pendapat umum cenderung melakukannya,, apabila tidak dilaksanakan, dianggap tidak benar.
Undang-Undang Dasar 1945 adalah keseluruhan naskah yang terdiri dari Pembukaan dan Pasal-Pasal (Pasal II Aturan Tambahan). Pembukaan terdiri atas 4 Alinea, yang di dalam Alinea keempat terdapat rumusan dari Pancasila, dan Pasal-Pasal Undang-Undang Dasar 1945 terdiri dari 20 Bab (Bab I sampai dengan Bab XVI) dan 72 Pasal (Pasal 1 sampai dengan pasal 37), ditambah dengan 3 Pasal Aturan Peralihan dan 2 pasal Aturan Tambahan. Bab IV tentang DPA dihapus, dalam amandemen keempat penjelasan tidak lagi merupakan kesatuan UUD 1945. Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945 merupakan satu kebulatan yang utuh, dengan kata lain merupakan bagian-bagian yang satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan.
Dengan demikian pengertian UUD 1945 dapat digambarkan sebagai berikut :
UUD 1945
PEMBUKAAN
Terdiri dari: 4 ALINEA
ALINEA 4 : Terdapat rumusan Sila-sila dari Pancasila dan PASAL-PASAL
Terdiri dari : Bab I s.d. Bab XVI (20 Bab) Pasal 1 s.d. Pasal 37 (72 Pasal), ditambah 3 Pasal Aturan Peralihan dan 2 Pasal Aturan Tambahan.

B. Motivasi Adanya UUD 1945

Motivasi yang menjasi latar belakang pembuatan UUD bagi negara yang satu berbeda dengan negara yang lain; hal ini dapat disebabkan karena beberapa hal, antara lain, sejarah yang dialami oleh bangsa yang bersangkutan, cara memperoleh kemerdekaan bangsanya, situasi dan kondisi pada saat menjelang kemerdekaan bangsanya, dan lain sebagainya.
Menurut pendapat Bryce, hal-hal yang menjadi alas an sehingga suatu negara memilliki UUD, terdpat beberapa macam, sebagai berikut :
  1. adanya kehendak para warganegara yang bersangkutan agar tejamin hak-haknya, dan bertujuan untuk mengatasi tindakan-tindakan para penguasa negara tersebut,
  2. adanya kehendak dari penguasa negara dan atau rakyatnya untuk menjamin agar terdapat pola atau system tertentu atas pemerintah negaranya,
  3. adanya kehendak para pembentuk negara baru tersebut agar terdapat kepastian tentang cara penyelenggaraan ketatanegaraannya,
  4. adanya kehendak dari beberapa negara semula masing-masing berdiri sendiri, untuk menjalin kerjasama.
Berdasarkan pendapat Bryce tersebut di atas, motivasi adanya UUD Negara Republik Indonesia, yang sekarang lebih dikenal UUD 1945 adalah adanya kehendak para Pembentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia sesaat setelah Proklamasi Kemerdekaan RI , tepatnya pada tanggal 18 agustus 1945. Hal ini ditujukan agar terjamin penyelenggaraan Ketatanegaraan NKRI secara pasti (adanya kepastiaan hukum), seperti menurut pendapat Bryce pada nomer 3 tersebut di atas, sehingga stabilitas nasional dapat terwujud. Terwujudnya ketatanegaraan yang pasti dan stabilitas nasional memberi makna bahwa system politik tertentu dapat dipertahankan, yaitu system politik menurut UUD 1945.
Suatu system politik, pada umumnya harus mempunyai kemempuan memenuhi lima fungsi utama, yaitu:
  • mempetahankan pola,
  • pengaturan dan penyelesaian ketegangan atau konflik,
  • penyesuaian,
  • pencapaian tujuan, dan
  • integrasi.
Dalam hal ini, system politik yang dianut oleh UUD 1945 dalam penyelenggaraan Pemerintahan Negara RI adalah merupakan suatu pola pemerintahan tertentu, dan apabila penyelenggaraan Pemerintahan Negara RI, tetap dilaksanakan berdasarkan UUD 1945, maka berarti system politik negara RI mempunyai kemampuan berfungsi mempertahankan pola tertentu, yaitu pola penyelenggaraan Pemerintahan Negara RI seperti ditentukan oleh UUD 1945.

C. Kedudukan UUD 1945

Sebagai hukum dasar, UUD 1945 merupakan sumber hukum tertinggi dari keseluruhan produk hukum di Indonesia. Produk-produk hukum seperti undang-undang, peraturan pemerintah, atau peraturan presiden, dan lain-lainnya, bahkan setiap tindakan atau kebijakan pemerintah harus dilandasi dan bersumber pada peraturan yang lebih tinggi, yang pada akhirnya harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan UUD 1945.
Tata urutan peraturan perundang-undangan pertama kali diatur dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, yang kemudian diperbaharui dengan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000, dan terakhir diatur dengan Undang-undang No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dimana dalam Pasal 7 diatur mengenai jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan yaitu adalah sebagai berikut :
  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
  2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
  3. Peraturan Pemerintah,
  4. Peraturan Presiden,
  5. Peraturan Daerah. Peraturan Daerah meliputi : 
  • Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama dengan Gubernur;
  • Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota;
  • Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
Undang-Undang Dasar bukanlah satu-satunya atau keseluruhan hokum dasar, melainkan hanya merupakan sebagian dari hukum dasar, masih ada hukum dasar yang lain, yaitu hukum dasar yang tidak tertulis. Hukum dasar yang tidak tertulis tersebut merupakan aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara -meskipun tidak tertulis – yaitu yang biasa dikenal dengan nama ‘Konvensi’. Konvensi merupakan aturan pelengkap atau pengisi kekosongan hukum yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan ketatanegaaan, dimana Konvensi tidak terdapat dalam UUD 1945 dan tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945.

D. Sifat UUD 1945

Undang-undang dasar hanya memuat 37 Pasal. Pasal-pasal lain hanya memuat peralihan dan tambahan. Maka rencana ini sangat singkat jika dibandingkan dengan undang-undang dasar Pilipina.
Maka telah cukup jika Undang-undang Dasar hanya memuat aturan-aturan pokok, hanya memuat garis-garis besar sebagai instruksi kepada pemerintah pusat dan penyelenggara negara lainnya untuk menyelenggarakan kehidupan bernegara. Hukum dasar yang tertulis hanya memuat aturan-aturan pokok, sedangkan aturan-aturan yang menyelenggarakan aturan pokok itu diserahkan kepeda undang-undang yang lebih mudah caranya membuat, merubah dan mencabut.
Perlu senantiasa diingat dinamika kehidupan masyarakat dan negara Indonesia. Masyarakat dan negara Indonesia tumbuh, jaman berubah, oleh karena itu dinamika kehidupan masyarakat dan negara tidak bisa dihentikan. Berhubungan dengan hal ini, tidak bijak jika tergesa-gesa memberi kristalisasi, meberi bentuk (Gestaltung) kepada pikiran-pikiran yang mudah berubah.
Sifat aturan yang tertulis itu mengikat. Oleh karena itu maakin supel (elastis) sifat aturan tersebut akan semakin baik. Jadi kita harus menjaga supaya system Undang-Undang Dasar tidak ketinggalan jaman. Jangan sampai kita membuat Undang-undang yang mudah tidak sesuai dengan keadaan (verouderd).
Sifat-sifat Undang-Undang Dasar 1945 adalah sebagai berikut :
  • Oleh karena sifatnya tertulis, maka rumusannya jelas, merupakan suatu hukum yang mengikat pemerintah sebagai penyelenggara negara, maupun mengikat bagi setiap warga negara.
  • Sebagaimana tersebut dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, bahwa UUD 1945 bersifat singkat dan supel, memuat aturan-aturan yaitu memuat aturan-aturan pokok yang setiap kali harus dikembangkan sesuai dengan perkembangan jaman,serta memuat hak-hak asasi manusia.
  • Memuat norma-norma, aturan-aturan, serta ketentuan-ketentuan yang dapat dan harus dilaksanakan secara konstitusional.
  • Undang-Undang Dasar 1945,dalam tertib hukum Indonesia,merupakan peraturan hukum positif yang tertinggi. Disamping itu, juga sebagai alat kontrol terhadap norma-norma hukum positif yang lebih rendah dalam hierarki tertib hukum Indonesia.

E. Fungsi UUD 1945

Setiap sesuatu dibuat dengan memiliki sejumlah fungsi. Demikian juga halnya dengan UUD 1945. Telah dijelaskan bahwa UUD 1945 adalah hukum dasar tertulis yang mengikat pemerintah, lembaga-lembaga negara, lembaga masyarakat, dan juga mengikat setiap warga negara Indonesia dimanapun mereka berada dan juga mengikat setiap penduduk yang berada di wilayah Negara Republik Indonesia.
Sebagai hukum dasar, UUD 1945 berisi norma-norma dan aturan-aturan yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh semua komponen tersebut di atas. Undang-undang Dasar bukanlah hukum biasa, melainkan hukum dasar, yaitu hukum dasar yang tertulis. Sebagai hukum dasar, UUD 1945 merupakan sumber hukum tertulis. Dengan demikian setiap produk hukum sepertiundang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, ataupun bahkan setiap tindakan atau kebijakan pemerintah haruslah berlandaskan dan bersumber pada peraturan yang lebih tinggi, yang pada akhirnya kesemuanya peraturan perundang-undangan tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan UUD 1945, dan muaranya adalah Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara (Pasal 2 UU No. 10 Tahun 2004).
Dalam kedudukan yang demikian itu, UUD 1945 dalam kerangka tata urutan perundangan atau hierarki peraturan perundangan di Indonesia menempati kedudukan yang tertinggi. Dalam hubungan ini, UUD 1945 juga mempunyai fungsi sebagai alat kontrol, dalam pengertian UUD 1945 mengontrol apakah norma hukum yang lebih rendah sesuai atau tidak dengan norma hukum yang lebih tinggi. UUD 1945 juga berperan sebagai pengatur bagaimana kekuasaan negara disusun, dibagi, dan dilaksanakan. Selain itu UUD 1945 juga berfungsi sebagai penentu hak dan kewajiban negara, aparat negara, dan warga negara.

F. Makna UUD 1945

Pokok-pokok Pikiran dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu :
  1. Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Menurut pengertian ini, difahami negara kesatuan, meliputi segenap bangsa Indonesia dan seluruhnya,. Jadi negara mengatasi segala paham golongan dan perseorangan. Negara menghendaki persatuan, meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnya.
  2. Negara hendak mewujudkan keadilan social bagi seluruh rakyat.
  3. Negara yang berkedaulatan rakyat berdasar atars kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan. Oleh karena itu system negara yang terbentuk dalam undang-undang dasar harus berdasar atas kedaulatan rakyat dan berdasar atas permusyawaratan perwakilan. Hal ini sesuai dengan sifat masyarakat Indonesia.
  4. Negara berdasar atas ke-Tuhanan yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Oleh karena itu, UUD harus mengandung isi yang mewajibkan Pemerintah dan Penyelenggara negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.
Pokok-pokok pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan dari UUD negara Indonesia. Pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum (Rechtidee) yang menguasai hukum dasar Negara baik hukum yang tertulis (UUD) maupun hukum yang tidak tertulis. Undang-undang Dasar menciptakan pokok pikiran ini dalam Pasal-Pasalnya.

Sumber Hukum :

  1. Undang-Undang Dasar 1945
  2. Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966
  3. Ketetapan MPR No. III/MPR/2000
  4. Undang-undang No.10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Pengertian Ketetapan MPR

Pengertian Ketetapan MPR - Raison d’etre dari suatu negara atau alasan satu-satunya bagi eksistensi negara adalah kepentingan umum. Pernyataan tersebut dimuat oleh Franz Magnis-Suseno dalam uraian tentang empat prinsip orientasi negara yang terkait dengan tugas Negara dalam buku Etika Politik. Eksistensi dari negara tersebut harus diwujudkan melalui tindakan negara untuk membawa kepentingan umum mencapai tujuan negara. Salah satu tindakan negara dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Indonesia, sebagai negara, memiliki peraturan perundang-undangan untuk menuangkan tindakannya untuk mencapai tujuan negara.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, atau disingkat dengan Ketetapan MPR atau TAP MPR, adalah bentuk putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang berisi hal-hal yang bersifat penetapan (beschikking).

Pada masa sebelum Perubahan (Amandemen) UUD 1945, Ketetapan MPR merupakan Peraturan Perundangan yang secara hierarki berada di bawah UUD 1945 dan di atas Undang-Undang. Pada masa awal reformasi, ketetapan MPR tidak lagi termasuk urutan hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia.

Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 berdampak pula pada kedudukan ketetapan MPR, yang tidak lain merupakan akibat dari perubahan terhadap kedudukan, tugas dan wewenang MPR. Akibat tersebut juga berdampak kepada keberadaan Ketetapan MPR.

Namun pada tahun 2011, berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, Tap MPR kembali menjadi Peraturan Perundangan yang secara hierarki berada di bawah UUD 1945. Pimpinan MPR sempat menyatakan bahwa kembali berlakunya Tap MPR pun tidak serta-merta mengembalikan posisi MPR seperti kondisi sebelumnya, dikarenakan pada era reformasi pembuatan Tap MPR baru tidak akan seperti masa yang sebelumnya, mengingat peran pembuatan Undang-Undang (legislatif) pada era reformasi diserahkan sepenuhnya kepada Presiden dan DPR.

Perubahan UUD 1945 membawa implikasi terhadap kedudukan, tugas, dan wewenang MPR. MPR yang dahulu berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, kini berkedudukan sebagai lembaga negara yang setara dengan lembaga negara lainnya (seperti Kepresidenan, DPR, DPD, BPK, MA, dan MK).

Berkaitan dengan Teori Jenjang Norma dari Hans Kelsen dan Hans Nawiasky, menurut Maria Farida Indrati Soeprapto, berdasarkan sistem norma hukum Negara Republik Indonesia, Pancasila adalah Staatsfundamentalnorm, kemudian UUD 1945 adalah Vervassungsnorm, selanjutnya Ketetapan MPR adalah Grundgezetsnorm. Ketiganya berupa Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara yang berada di atas Gesetznorm yaitu Undang-Undang. Namun demikian, Abdul Hamid Saleh Atamimi berpendapat bahwa ketetapan MPR tidak secara langsung merupakan ‘penciptaan dalam Pasal-Pasal’ dari norma dasar Pancasila, sehingga penetapan, perubahan dan pencabutan ketetapan MPR tidak diperlukan persyaratan formal seberat aturan (dasar) lain, akan tetapi tidak berarti aturan dasar yang terkandung dalam ketetapan MPR dapat menyimpang aturan dasar lainnya, karena dari norma dasar kepada aturan dasar sampai ke peraturan perundang-undangan secara formal merupakan satu sistem norma hukum yang padu. 

Berdasarkan uraian tersebut dapat pula disimpulkan bahwa ketetapan MPR memiliki sifat yang lebih dinamis dibanding Pancasila dan UUD 1945. Hal tersebut tercermin pula dari substansi ketetapan MPRS/MPR yang secara tidak sekaligus menelusuri sejarah negara yang dinamis, terus bergerak mengikuti alur yang terjadi dalam Negara dan hubungannya dengan rakyat, seperti yang terdokumentasi dalam Ketetapan MPRS/MPR sejak tahun 1960 sampai dengan tahun 2003. Secara khusus ditemukan pula deskripsi dari perjalanan model kepemimpinan yang berpengaruh pada pergeseran kekuasaan dalam tata lembaga Negara Republik Indonesia. Jelasnya menelusuri ketetapan MPRS/MPR memunculkan sisi keunikan tersendiri dari sudut pandang lain dan menarik untuk ditelaah lebih lanjut dan dapat ditemukan penyebab-penyebab atau alasan-alasan terjadinya pergeseran kekuasaan tata lembaga negara di Indonesia yang selanjutnya dapat dijadikan gambaran dalam penataan lembaga negara Indonesiadi masa mendatang. Hal tersebut juga terkait dengan pernyataan dari Jimly Asshiddiqie yang menguraikan tentang ‘Pergeseran-Pergeseran Kekuasaan Legislatif dan Eksekutif, bahwa dalam mengamati berbagai masalah ketatanegaraan seharusnya tidak mengabaikan pertimbangan-pertimbangan historis yang berkaitan erat dengan dinamika perubahan.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau yang disingkat TAP MPR, merupakan salah satu wujud peraturan perundang-undangan yang sah dan legitimate berlaku di Negara Indonesia. Bahkan didalam hierarki peraturan perundang-undangan, TAP MPR memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan UU, Perpu, PP, Perpres dan Perda. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang menegaskan bahwa, jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas :
  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
  3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
  4. Peraturan Pemerintah;
  5. Peraturan Presiden;
  6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
  7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka TAP MPR dapat dikatakan sebagai salah satu sumber hukum. Meskipun dalam Undang-undang sebelumnya, yakni Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, TAP MPR tidak dimasukkan dalam hierarki perundang-undang, bukan berarti keberadaan TAP MPR tidak diakui. Akan tetapi norma yang diatur dalam setiap TAP MPR sejak tahun 1966 hingga tahun 2002 tetap diakui sebagai sebuah produk hukum yang berlaku sepanjang tidak digantikan dengan Undang-undang formal yang ditetapkan setelahnya.

Dimasukkannya kembali TAP MPR dalam tata urutan perundang-undangan berdasarkan apa yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, hanya merupakan bentuk penegasan saja bahwa produk hukum yang dibuat berdasarkan TAP MPR, masih diakui dan berlaku secara sah dalam sistem perundang-undangan Indonesia. Namun demikian, dimasukkannya kembali TAP MPR dalam tata urutan perundang-undangan tersebut, tentu saja membawa implikasi atau akibat hukum yang membutuhkan penjelasan rasional, agar tidak menimbulkan tafsir hukum yang berbeda-beda.

Berdasarkan TAP MPR No.I/MPR/2003 tidak semua ketetapan diberlakukan, hanya beberapa ketetapan saja yang masih berlaku. Walaupun sebagian besar ketetapan tersebut sudah tidak diberlakukan kembali, muatan ketetapan MPR (d/h ketetapan MPRS) dapat ditelusuri untuk dijadikan sumberpemahaman sejarah pergeseran kekuasaan pada tata lembaga Negara. Ketetapan MPR yang dikeluarkan sejak tahun 1960 hingga tahun 2002 secara implisit memuat dokumentasi dari perjalanan tata lembaga Negara di Indonesia. Upaya penelusuran ketetapan-ketetapan MPR adalah untuk memperoleh gambaran mengenai sejarah perkembangan tata lembaga negara yang pernah dan sedang berlangsung. Gambaran yang terdokumentasi dalam ketetapan-ketetapan MPR diharapkan dapat membantu mengisi kekurangan-kekurangan yang dihadapi oleh sistem ketatanegaraan Indonesia dalam penataan lembaga negaranya.

Dari semua jenis peraturan perundang-undangan di Indonesia ada yang menarik dari keberadaan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, selanjutnya disebut ketetapan MPR/TAP MPR, menarik dicermati karena pembentukan, kedudukan dan statusnya yang cukup unik.

Keunikan tersebut dapat dilihat dari proses awal pembentukan ketetapan MPR. Sumber dari ketetapan MPR adalah Pembukaan dan Batang Tubuh dari Undang-Undang Dasar Tahun 1945, selanjutnya disebut UUD 1945. Namun dalam UUD 1945 tidak ditemukan istilah ‘Ketetapan MPR’. Istilah tersebut baru muncul dari sidang-sidang pertama Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang bersumber pada pasal 3 UUD 1945 (naskah asli), disebutkan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) berwenang untuk menetapkan garis-garis besar haluan negara dalam arti luas. Berkaitan dengan kewenangan itulah dikenal produk MPR yaitu Ketetapan MPR (atau pada masa MPRS disebut ketetapan MPRS/TAP MPRS). Jadi istilah Ketetapan MPR lahir, tidak seperti peraturan perundang-undangan lain yang disebutkan secara tegas dalam UUD 1945.

Sumber Hukum :

  1. Undang-Undang Dasar 1945,
  2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
  3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
  4. TAP MPR No.I/MPR/2003.

Referensi :

  1. Aziz, Machmud. Jenis dan Tata Susunan/Urutan (Hierarki) Peraturan Perundang-Undangan Menurut UUD-RI dan UU Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
  2. http://myilmulintashukum.blogspot.co.id/2015/09/undang-undang-legislasi.html
  3. http://myilmulintashukum.blogspot.co.id/2015/10/hierarki-peraturan-perundang-undangan.html
  4. Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan-Jenis,Fungsi dan Materi Muatan, Kanisius, 2011,hlm. 45-48, 65-66 dan 76-78.
  5. http://myilmulintashukum.blogspot.co.id/2015/10/undang-undang-1945.html
  6. Abdul Hamid Saleh Atamimi, “UUD 1945-TAP MPR- Undang-Undang”, dalam Padmo Wahjono, “Masalah Ketatanegaraan (himpunan tulisan)”,Ghalia Indonesia,1984,hlm.131.
  7. Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi (Serpihan Pemikiran Hukum, Media dan HAM), Konstitusi Press, 2006, hlm. 32.
  8. Moh. Kusnardi dan Hamaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 1985,hlm.46.
  9. Jimly Asshidiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pegeseran Kekuasaan dalam UUD 1945,FH UII Press, 2004,hlm.39.
  10. Rachmani Puspitadewi, Kedudukan dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR-RI setelah Perubahan UUD 1945,Jurnal Hukum Pro Justitia vol. 25 no. 1, Feb. 2007.

Pengertian Undang-Undang & Perpu

Pengertian Undang-Undang Dalam Arti Materil dan Formal
Pengertian undang-undang dapat dibedakan ke dalam dua pengertian yaitu undang-undang dalam arti material dan undang-undang dalam arti formal. Undang-undang dalam arti material adalah “setiap keputusan atau peraturan yang dibuat oleh pemerintah atau penguasa yang berwenang yang isinya mengikat secara umum” atau “keputusan atau ketetapan pemerintah atau penguasa yang berwenang yang memuat ketentuan-ketentuan umum” atau “ peraturan-peraturan umum yang dibuat oleh penguasa yang berwenang”.

Menurut Paul Laband, undang-undang dalam arti material adalah penetapan kaidah hukum yang tegas sehingga hukum itu menurut sifatnya dapat mengikat.
Pengertian undang-undang dalam arti material menurut Buys adalah setiap keputusan pemerintah yang menurut isinya mengikat langsung setiap penduduk suatu daerah.
Pengertian Undang-undang dalam arti formal ialah setiap keputusan pemerintah atau penguasa yang berwenang yang karena prosedur terjadinya atau pembentukannya dan bentuknya dinamakan “undang-undang”.

Pengertian Undang-undang dalam arti formal ialah keputusan pemerintah yang memperoleh nama undang-undang karena bentuk, dalam mana ia timbul.
Undang-undang dalam arti formal ialah setiap keputusan yang merupakan “undang-undang” karena cara terjadinya.

Menurut N.E Algra, et al. (1991:28), undang-undang dalam arti formal adalah undang-undang resmi atau undang-undang yang dibuat oleh pembuat undang-undang formal. Karena pembuat undang-undang formal di negara Belanda adalah raja dan DPR, maka pengertian undang-undang dalam arti formal menurut Algra adalah tiap keputusan yang terjadi dengan jalan kerja sama antara perintah ( firman raja ) dengan DPR.

Berdasarkan Konstitusi negara Indonesia  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 ( UUD NRI 1945 ), yang membuat undang-undang dalah DPR bersama dengan presiden sebagaimana ditentukan pada Pasal 20 UUD NRI 1945. Oleh karena itu, undang-undang dalam arti formal menurut UUD NRI 1945 adalah setiap keputusan atau peraturan yang dibuat dan disetujui bersama oleh DPR dan Presiden.

Berikut ini adalah cara membedakan antara undang-undang dalam arti material dan undang-undang dalam arti formal:
Pertama, undang-undang dalam arti formal namanya pasti “undang-undang” dan isinya tidak mengikat secara umum atau secara luas atau tidak mengikat semua penduduk.
Kedua, undang-undang dalam arti material belum tentu bernama “undang-undang” atau peraturan pemerintan atau keputusan Presiden, atau peraturan Presiden atau Peraturan Daerah. “isi” atau materinya harus mengikat secara umum atau luas , atau berlakunya undang-undang mengikat semua penduduk dalam suatu wilayah.

Apabila ada undang-undang dalam arti formal (bernama undang-undang) tetapi isinya mengikat secara umum semua penduduk dalam satu wilayah atau daerah, maka undang-undang ini disebut undang-undang dalam arti material , misalnya KUHP, KUHAP, UUPA, BW, dan WvK.

Sebagian besar undang-undang yang berlaku di Indonesia merupakan undang-undang dalam arti material karena isinya mengatur atau mengikat secara umum penduduk dalam suatu daerah atau wilayah.

Peraturan Daerah , meskipun bentuk dan namanya bukan undang-undang, tetapi karena isinya mengikat langsung penduduk secara umum, maka disebut undang-undang dalam arti material. Sebaliknya Undang-Undang Naturalisasi atau Kewarganegaraan, serta Undang-Undang APBN bentuk fisik dan namanya adalah undang-undang, tetapi karena isinya tidak mengatur atau mengikat secara umum semua penduduk, maka kedua undang-undang ini disebut undang-undang dalam arti formal bukan undang-undang dalam arti material.

Syarat-Syarat Berlakunya Undang-Undang

1. Undang-undang terdiri atas beberapa bagian, yaitu :
  • Judul
  • Pembukaan memuat ( frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa; Jabatan Pembentuk undang-undang;Konsideran; Dasar Hukum; dan Diktum ). Konsideran diawali dengan kata-kata “menimbang” ( berisi pokok-pokok pikiran latar belakang dengan alasan pembuatan Peraturan Perundang-Undangan ); dasar Hukum diawali dengan kata “Mengingat” ( berisi dasar hukum kewenangan pembuatan peraturan perundang-undangan dan sebagainya ); selanjutnya “Diktum” terdiri atas ( kata Memutuskan, Menetapkan dan nama Peraturan Perundang-Undangan );
  • Batang Tubuh memuat ( Ketentuan Umum, materi pokok yang diatur, ketentuan pidana jika perlu, ketentuan peralihan dan ketentuan penutup )
  • Penutup
  • Penjelasan pasal-pasal
  • Lampiran ( jika perlu )
2. Ketentuan peralihan , pada umumnya setiap undang-undang mengatur ketentuan peralihan yang mempunyai fungi untuk menutup kekosongan hukum dengan menghubungkan waktu yang lampau dengan yang sekarang
3. Undang-undang diberi nomor urut serta tahun dikeluarkannya. Nomor urutnya tiap tahun dimulai dari nomor satu.
4. Agar setiap orang mengetahuinya, peraturan perundang-undangan harus diundangkan atau diumumkan dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara( Pasal 82 UU No. 12 Tahun 2011 ). Pengundangan peraturan perundang-undangan dalam Lembaran Negara dilakukan oleh mentri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan ( Mentri Hukum dan HAM ), dan yang menandatangani Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Presiden ( Pasal 85 UU No. 12 Tahun 2011 Jo. Pasal 20 ayat (4) UUD 1945 )
5. Dengan diundangkannya Undang-undang dalam lembaran negara berarti mengikat semua orang untuk mengakui eksistensinya, sehingga berlakulah asas fictie dalam hukum, artinya bahwa” setiap orang dianggap telah mengetahui adanya suatu undang-undang” sehingga undang-undang tersebut tidak boleh digugat dengan bukti yang melawannya.
6. Peraturan perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan ( Pasal 87 UU No. 12 Tahun 2011 ).

Lembaran Negara adalah suatu lembaran ( kertas ) tempat mengundangkan ( mengumumkan ) semua peraturan perundang-undangan negara dan peraturan-peraturan pemerintah agar berlakunya mempunyai kekuatan mengikat.   

Asas-Asas Perundang-Undangan

Di dalam ilmu hukum, dikenal beberapa asas hukum tentang berlakunya undang-undang, yaitu:
  1. Undang-undang tidak berlaku surutAsas ini dikenal juga dengan nama asas legalitas, dimana undang-undang yang berlaku  dan mengikat pada masa yang akan datang tidak mempunyai kekuatan berlaku surut atau dengan istilah lain dikenal dengan non retro active. Baca juga : Sejarah Asas Legalitas.
  2. Asas lex superior derogat legi inferiori, yaitu undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi mempunyai derajat yang lebih tinggi . apabila ada dua undang-undang yang mengatur objek yang sama, maka undang-undang yang derajatnya lebih tinggi didahulukan pemberlakuannya.
  3. Asas lex posteriori derogat legi priori, yaitu undang-undang yang baru mengenyampingkan pemberlakuaan undang-undang yang lama jika mengatur objek yang sama.
  4. Asas lex specialist derogat legi generali, yaitu undang-undang yang bersifat khusus mengenyampingkan pemberlakuan undang-undang yang yang bersifat umum.
Ruang lingkup berlakunya suatu undang-undang ditentukan oleh 4 asas, yaitu:
  1. Asas teritorial , yaitu undang-undang berlaku dalam wilayah negara tanpa membedakan kewarganegaraan.
  2. Asas personal, yaitu undang-undang berlaku bagi setiap warga negara Indonesia tanpa terbatas dalam wilayah negara saja.
  3. Asas nasionaliteit passif, yaitu undang-undang berlaku bagi setiap orang di luar wilayah Indonesia untuk melindungi kepentingan dan keamanan nasional terhadap kejahatan tertentu.
  4. Asas universal, yaitu undang-undang berlaku bagi setiap orang di luar wilayah negara untuk melindungi kepentingan dan keamanan dunia terhadap kejahatan tertentu

Berlaku dan Berakhirnya Suatu Undang-Undang

Berlaku  suatu undang-undang didasarkan atas hal-hal berikut:
  • Ditentukan pada tanggal ditetapkan atau diundangkan.
  • Jika tidak ditentukan tanggalnya, maka undang-undang itu berlaku pada hari ke-20 sesudah hari diundangkan.
  • Ditentukan pada tanggal tertentu, misalnya, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang nanti berlaku pada tanggal 1 Januari 1990, dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 Tentang UULAJ yang berlaku setahun kemudian, tetapi ditunda setahun lagi berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1993.
  • Ditentukan kemudian oleh peraturan lain.
  • Ditentukan berlaku surut. Misalnya, Perpu No. 2 Tahun 2002 memberlakukan surut Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme terhadap peristiwa peledakan bom di Bali pada tanggal 12 Oktober 2002.
Berakhirnya suatu undang-undang didasarkan atas beberapa hal berikut :
  • Ditentukan sendiri dalam undang-undang itu.
  •  Dicabut secara tegas oleh pembuat undang-undang atau hakim.
  • Dinyatakan tidak berlaku oleh hakim dengan alasan bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi.
  • Undang-undang yang lama bertentangan dengan undang-undang yang baru.
  • Timbulnya hukum kebiasaan yang bertentangan dengan undang-undang , sehingga undang-undang itu tidak ditaati oleh masyarakat.
  • Bertentangan dengan yurisprudensi tetap.
  • Suatu keadaan yang diatur oleh undang-undang sudah tidak ada lagi. Misalnya undang-undang darurat perang atau keadaan bahaya melarang penduduk keluar malam. Setelah perang berakhir, maka maka keluar malam tidak dilarang meskipun undang-undang tersebut belum dicabut.

Hirarki Peraturan Perundang-Undangan

Adapun tata urutan perundang-undangan Indonesia berdasarkan Ketetapan MPR Nomor III /MPR/2000 Pasal (2) sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan adalah sebagai berikut:
1.    Undang-Undang Dasar 1945
2.    Ketetapan MPR RI
3.    Undang-Undang
4.    Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ( Perpu )
5.    Peraturan Pemerintah
6.    Keputusan Presiden
7.    Peraturan Daerah

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (“PERPU”) 

PERPU (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) adalah Peraturan Perundang-undangan yg ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa. 

I. Dasar Hukum
  1. Pasal 22 ayat (1) UUD 1945;
  2. UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
  3. Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden.
II. Pengertian PERPU
“Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa” Berdasarkan Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 ada tiga syarat sebagai parameter adanya “kegentingan yang memaksa” bagi Presiden untuk menetapkan PERPU yaitu:
  1. Adanya keadaan yaitu kebutuhanmendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
  2. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
  3.  Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan;
III. Proses Penyusunan PERPU
  1. PERPU harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut (persidangan pertama DPR setelah PERPU ditetapkan oleh Presiden);
  2. Pengajuan PERPU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pengajuan RUU tentang penetapan PERPU menjadi Undang-Undang.
  3.  DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap PERPU.
  4. Dalam hal PERPU mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, PERPU tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang.
  5. Dalam hal PERPU tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, PERPU tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku.
  6. Dalam hal PERPU harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (5), DPR atau Presiden mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan PERPU.
  7. RUU tentang Pencabutan PERPU sebagaimana dimaksud pada ayat (6) mengatur segala akibat hukum dari pencabutan PERPU.
  8. RUU tentang Pencabutan PERPU sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan menjadi Undang-Undang tentang Pencabutan PERPU dalam rapat paripurna yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (5).

Pengertian Peraturan Pemerintah

Pengertian Peraturan Pemerintah dan Proses Pembuatan Peraturan Pemerintah  
Peraturan Pemerintah (disingkat PP) adalah Peraturan Perundang-undangan di Indonesia yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Materi muatan Peraturan Pemerintah adalah materi untuk menjalankanUndang-Undang. Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dinyatakan bahwa Peraturan Pemerintah sebagai aturan "organik" daripada Undang-Undang menurut hierarkinya tidak boleh tumpang tindih atau bertolak belakang. Peraturan Pemerintah ditandatangani oleh Presiden.
Materi muatan Peraturan Pemerintah adalah materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.didalam UU No.10 Tahun 2004 tentang teknik pembuatan undang-undang, bahwa Peraturan Pemerintah sebagai aturan organik daripada Undang-Undang menurut hierarkinya tidak boleh tumpangtindih atau bertolak belakang Peraturan Presiden (disingkat Perpres adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibuat oleh Presiden. Materi muatan Peraturan Presiden adalah materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah. Undang-undang (atau disingkat UU) adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.
Jadi untuk melaksanakan undang-undang yang dibentuk oleh Presiden dengan DPR, UUD 1945 memberikan wewenang kepada presiden untuk menetapkan Peraturan Pemerintah guna melaksanakan undang-undang tersebut sebagaimana mestinya. Keberadaan Pemerintah hanya untuk menjalankan Undang-Undang. Hal ini berarti tidak mungkin bagi presiden menetapkan Peraturan Pemerintah sebelum terbentuk undang-undangnya, sebaliknya suatu undang-undang tidak dapat berlaku efektif tanpa adanya Peraturan Pemerintah.
Peraturan Pemerintah memiliki beberapa karakteritik sehingga dapat disebut sebagai sebuah Peraturan Pelaksana suatu ketentuan Undang-Undang atau verordnung. Prof. Dr. A. Hamid Attamimi, mengemukakan beberapa karakteristika dari Peraturan Pemerintah, yakni sebagai berikut:
  1. Peraturan Pemerintah tidak dapat dibentuk tanpa terlebih dahulu ada Undang-Undang yang menjadi “induknya”;
  2. Peraturan Pemerintah tidak dapat mencantumkan sanksi pidana apabila Undang-Undang yang bersangkutan tidak mencantumkan sanksi pidana;
  3. Ketentuan Peraturan Pemerintah tidak dapat menambah atau mengurangi ketentuan Undang-Undang yang bersangkutan;
  4. Untuk menjalankan, menjabarkan, atau merinci ketentuan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dapat dibentuk meski ketentuan Undang-Undang tersebut tidak memintanya secara tegas-tegas;
  5. Ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah berisi peraturan atau gabungan peraturan atau penetapan: Peraturan Pemerintah tidak berisi penetapan semata-mata. 
 Peraturan pemerintah ini memiliki ciri-ciri atau kriteria dalam proses pembuatannya yaitu sebagai berikut :
Untuk selanjutnya Peraturan Pemerintah kita singkat dengan PP.
  • PP tidak bisa dibentuk apabila tidak ada undang-undang yang merupakan induknya
  • PP tidak bisa mencantumkan sanksi pidana jika UU yang merupakan induknya tidak mencantumkan sanksi pidana.
  • PP tidak bisa memperluas atau mengurangi dari ketentuan undang-undang induknya
  • PP dapat dibentuk meskipun undang-undang yang bersangkutan tidak menyebutkan secara tegas, tetapi dengan syarat PP tersebut isinya adalah untuk melaksanakan UU
  • PP tidak ditujukan untuk melaksanakan UUD 1945 ataupun ketetapan MPR melainkan UU.
Materi muatan PP berisi materi untuk menjalankan UU yang telah diatur dalam Pasal 10 UU RI No 10 Tahun 2004). Semua peraturan perundang-undangan nasional memiliki proses dalam pembuatannya, termasuk peraturan pemerinta. Berikut adalah proses pembuatan peraturan pemerintah.
1. Proses penyiapan rancangan peraturan pemerintah
Setiap departemen ataupun lembaga pemerintahan mempunyai kesempatan untuk mengambil prakarsa sendiri untuk mempersiapkan rancangan PP sesuai dengan bidang tugasnya.
2. Proses pengajuan rancangan peraturan pemerintah
Peraturan Pemerintah yang masih berupa rancangan ini kemudian akan diajukan kepada presiden untuk mendapatkan persetujuan dari presiden. Kemudian sekretaris negara akan memeriksa dan meneliti rancangan PP tersebut dan akan mempertimbangkan aspek hukumnya. Setelah disetujui oleh presiden, sekretaris negara akan menyampaikan surat persetujuan dan meminta departemen yang berkaitan untuk membentuk sebuah panitia yang bertugas untuk membahas peraturan pemerintah yang masih berupa rancangan yang sudah disetujui oleh presiden.
3. Proses pembahasan rancangan peraturan pemerintah
Panitia yang bertugas untuk membahas prakarsa rancangan PP tersebut disebut dengan panitia antardepartemen atau disebut juga dengan panitia internal departemen.  Panitia antardepartmen akan membahasnya, apabila sudah selesai dan mendapatkan keputusan (kesimpulan), ketua panitia akan segera menyerahkan prakarsa RPP kepada menteri yang bersangkutan. 
Rancangan yang telah diberikan kepada para menteri, akan kembali diedarkan ke menteri yang bersangkutan seperti kepada.
a. Para menteri atau pimpinan lembaga pemerintahan yang ada hubungannya dengan materi rancangan PP untuk mendapatkan tanggapan dan pertimbangan
b. Menter Kehakiman untuk mendapatkan tanggapan dari segi hukum
c. Sekretaris kabinet untuk persiapan penyelesaian rancangan PP selanjutnya
4. Proses pengesahan peraturan pemerintah
Hasil pembahasan rancangan PP yang telah disetujui bersama, selanjutnya akan dikirim kembali sekretaris negara untuk disampaikan kepada presiden guna ditetapkan dan ditanda-tangani. Rancangan PP yang telah disetujui presiden, selanjutnya disahkan oleh presiden menjadi peraturan pemerintah.
5. Proses pengundangan dan penyebarluasan peraturan pemerintah
Agar setiap orang mengetahui peraturan pemerintah yang telah disahkan maka peraturan pemerintah tersebut diundangkan dengan menempatkannya dalam :
a. Lembaran negara RI
b. berita negara RI
Pemerintah memiliki kewajiban untuk menyebarluaskan peraturan tersebut yang telah diundangkan dalam lembaran negara dan berita negara RI. Pengundangan tersebut dilaksanakan oleh menteri ang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan. 
Dasar Hukum :
  1. UUD 1945;
  2. UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
  3. Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden.

Pengertian Peraturan Presiden

Peraturan Presiden (Perpres) adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.
Definisi di atas ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Menurut Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibuat oleh Presiden. Ketentuan tersebut mirip dengan Peraturan Pemerintah. Namun keduanya berbeda pada proses pembentukannya. Peraturan Pemerintah tidak dibuat dan disusun atas inisiatif dan prakarsa Presiden sendiri melainkan untuk melaksanakan perintah Undang-Undang.
 
Peraturan Presiden yang dibuat oleh Presiden mengandung dua makna. Pertama, Peraturan Presiden dibuat oleh Presiden atas inisiatif dan prakarsa sendiri untuk melaksanakan Undang-Undang sehingga kedudukannya sederajat dengan Peraturan Pemerintah. Kedua, maksud pembuatan Peraturan Presiden ditujukan untuk mengatur materi muatan yang diperintahkan oleh Peraturan Pemerintah sehingga kedudukannya menjadi jelas berada di bawah Peraturan Pemerintah.

Materi Muatan

Materi muatan Perpres berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.
Perpres merupakan peraturan yang dibuat oleh Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara sebagai atribusi dari Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Perpres dibentuk untuk menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut perintah UU atau PP baik secara tegas maupun tidak tegas diperintahkan pembentukannya.

Pengertian Peraturan Daerah Provinsi

Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur. (Pasal 1 Angka 7 UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan).
 
Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Peraturan Daerah terdiri atas: 
  • Peraturan Daerah Provinsi, yang berlaku di provinsi tersebut. Peraturan Daerah Provinsi dibentuk oleh DPRD Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur.
  • Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, yang berlaku di kabupaten/kota tersebut. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibentuk oleh DPRD Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tidak subordinat terhadap Peraturan Daerah Provinsi.
Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Peraturan Daerah dikenal dengan istilah Qanun. Sementara di Provinsi Papua, dikenal istilah Peraturan Daerah Khusus dan Peraturan Daerah Provinsi.
Mekanisme Pembentukan Peraturan Daerah
Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) dapat berasal dari DPRD atau kepala daerah (gubernur, bupati, atau walikota). Raperda yang disiapkan oleh Kepala Daerah disampaikan kepada DPRD. Sedangkan Raperda yang disiapkan oleh DPRD disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada Kepala Daerah.
Pembahasan Raperda di DPRD dilakukan oleh DPRD bersama gubernur atau bupati/walikota. Pembahasan bersama tersebut melalui tingkat-tingkat pembicaraan, dalam rapat komisi/panitia/alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani legislasi, dan dalam rapat paripurna.
Raperda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota disampaikan oleh Pimpinan DPRD kepada Gubernur atau Bupati/Walikota untuk disahkan menjadi Perda, dalam jangka waktu palinglambat 7 hari sejak tanggal persetujuan bersama. Raperda tersebut disahkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota dengan menandatangani dalam jangka waktu 30 hari sejak Raperda tersebut disetujui oleh DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota. Jika dalam waktu 30 hari sejak Raperda tersebut disetujui bersama tidak ditandangani oleh Gubernur atau Bupati/Walikota, maka Raperda tersebut sah menjadi Perda dan wajib diundangkan.
Artikel PERDA II
Peraturan daerah ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD. Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/ kabupaten/kota dan tugas pembantuan. Perda merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Perda tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Perda dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundangundangan. Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Perda. Persiapan pembentukan, pembahasan, dan pengesahan rancangan Perda berpedoman kepada peraturan perundang-undangan.
Perda berlaku setelah diundangkan dalam lembaran daerah. Perda disampaikan kepada Pemerintah pusat paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan. Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah pusat.
Untuk melaksanakan Perda dan atas kuasa peraturan perundang-undangan, kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah dan atau keputusan kepala daerah. Peraturan kepala daerah dan atau keputusan kepala daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, Perda, dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Perda diundangkan dalam Lembaran Daerah dan Peraturan Kepala Daerah diundangkan dalam Berita Daerah. Pengundangan Perda dalam Lembaran Daerah dan Peraturan Kepala Daerah dalam Berita Daerah dilakukan oleh Sekretaris Daerah. Untuk membantu kepala daerah dalam menegakkan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja.

Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Peraturan Daerah Kota dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“DPRD”) Kota dengan persetujuan bersama Walikota, sedangkan Peraturan Walikota dibentuk oleh Walikota tanpa melibatkan DPRD Kota. Di samping itu, ada perbedaan lain antara Peraturan Daerah Kota dengan Peraturan Walikota. Apa perbedaannya ?
 
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
 
Ulasan
Peraturan Daerah Kota merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang disebut dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU 12/2011”) yang berbunyi:
 
Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a.    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.    Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.    Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d.    Peraturan Pemerintah;
e.    Peraturan Presiden;
f.     Peraturan Daerah Provinsi; dan
g.    Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.”
 
Adapun definisi Peraturan Daerah Kota dapat kita lihat dalam Pasal 1 angka 8 UU 12/2011 yaitu:
 
“Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota.”
 
Lalu bagaimana dengan Peraturan Walikota? Terkait hal ini, Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011 berbunyi:
 
“Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.”
 
Jadi, Peraturan Walikota termasuk jenis peraturan perundang-undangan yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011, namun ditetapkan oleh walikota. Dari sini dapat kita tarik kesimpulan bahwa Peraturan Walikota adalah jenis peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Walikota.
 
Namun begitu, Peraturan Walikota baru diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan (lihat Pasal 8 ayat [2] UU 12/2011).
 
Menjawab pertanyaan Anda, perbedaan mendasar antara Peraturan Daerah Kota dengan Peraturan Walikota adalah:
1.    Peraturan Daerah Kota dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“DPRD”) Kota dengan persetujuan bersama Walikota, sedangkan Peraturan Walikota dibentuk oleh Walikota tanpa melibatkan DPRD Kota
2.    Peraturan Daerah Kota diundangkan dalam Lembaran Daerah, sedangkan Peraturan Walikota diundangkan dalam Berita Daerah
 
Ketentuan ini diatur dalam Pasal 86 ayat (1) dan (2) UU 12/2011:
 
(1) Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan dalam Lembaran Daerah adalah Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/Walikota diundangkan dalam Berita Daerah.
 
Sebagai contoh Peraturan Daerah Kota dan Peraturan Walikota adalah:
 
Dalam Perda Kota Depok 13/2013 jelas disebut bahwa perda tersebut dibuat dengan persetujuan bersama DPRD Kota Depok dan Walikota Depok. Sedangkan dalam Peraturan Walikota Depok 5/2013 tidak ada persetujuan tersebut.
 
Di samping itu, dalam Pasal 173 Perda Kota Depok 13/2013 disebutkan bahwa agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Depok.
 
Sedangkan, dalam Pasal 20 Peraturan Walikota Depok 5/2013 disebutkan bahwa agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Walikota ini dengan penempatannya dalam Berita Daerah.  
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum: