Rabu, 27 Juli 2016

Pengertian Ketetapan MPR

Pengertian Ketetapan MPR - Raison d’etre dari suatu negara atau alasan satu-satunya bagi eksistensi negara adalah kepentingan umum. Pernyataan tersebut dimuat oleh Franz Magnis-Suseno dalam uraian tentang empat prinsip orientasi negara yang terkait dengan tugas Negara dalam buku Etika Politik. Eksistensi dari negara tersebut harus diwujudkan melalui tindakan negara untuk membawa kepentingan umum mencapai tujuan negara. Salah satu tindakan negara dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Indonesia, sebagai negara, memiliki peraturan perundang-undangan untuk menuangkan tindakannya untuk mencapai tujuan negara.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, atau disingkat dengan Ketetapan MPR atau TAP MPR, adalah bentuk putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang berisi hal-hal yang bersifat penetapan (beschikking).

Pada masa sebelum Perubahan (Amandemen) UUD 1945, Ketetapan MPR merupakan Peraturan Perundangan yang secara hierarki berada di bawah UUD 1945 dan di atas Undang-Undang. Pada masa awal reformasi, ketetapan MPR tidak lagi termasuk urutan hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia.

Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 berdampak pula pada kedudukan ketetapan MPR, yang tidak lain merupakan akibat dari perubahan terhadap kedudukan, tugas dan wewenang MPR. Akibat tersebut juga berdampak kepada keberadaan Ketetapan MPR.

Namun pada tahun 2011, berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, Tap MPR kembali menjadi Peraturan Perundangan yang secara hierarki berada di bawah UUD 1945. Pimpinan MPR sempat menyatakan bahwa kembali berlakunya Tap MPR pun tidak serta-merta mengembalikan posisi MPR seperti kondisi sebelumnya, dikarenakan pada era reformasi pembuatan Tap MPR baru tidak akan seperti masa yang sebelumnya, mengingat peran pembuatan Undang-Undang (legislatif) pada era reformasi diserahkan sepenuhnya kepada Presiden dan DPR.

Perubahan UUD 1945 membawa implikasi terhadap kedudukan, tugas, dan wewenang MPR. MPR yang dahulu berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, kini berkedudukan sebagai lembaga negara yang setara dengan lembaga negara lainnya (seperti Kepresidenan, DPR, DPD, BPK, MA, dan MK).

Berkaitan dengan Teori Jenjang Norma dari Hans Kelsen dan Hans Nawiasky, menurut Maria Farida Indrati Soeprapto, berdasarkan sistem norma hukum Negara Republik Indonesia, Pancasila adalah Staatsfundamentalnorm, kemudian UUD 1945 adalah Vervassungsnorm, selanjutnya Ketetapan MPR adalah Grundgezetsnorm. Ketiganya berupa Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara yang berada di atas Gesetznorm yaitu Undang-Undang. Namun demikian, Abdul Hamid Saleh Atamimi berpendapat bahwa ketetapan MPR tidak secara langsung merupakan ‘penciptaan dalam Pasal-Pasal’ dari norma dasar Pancasila, sehingga penetapan, perubahan dan pencabutan ketetapan MPR tidak diperlukan persyaratan formal seberat aturan (dasar) lain, akan tetapi tidak berarti aturan dasar yang terkandung dalam ketetapan MPR dapat menyimpang aturan dasar lainnya, karena dari norma dasar kepada aturan dasar sampai ke peraturan perundang-undangan secara formal merupakan satu sistem norma hukum yang padu. 

Berdasarkan uraian tersebut dapat pula disimpulkan bahwa ketetapan MPR memiliki sifat yang lebih dinamis dibanding Pancasila dan UUD 1945. Hal tersebut tercermin pula dari substansi ketetapan MPRS/MPR yang secara tidak sekaligus menelusuri sejarah negara yang dinamis, terus bergerak mengikuti alur yang terjadi dalam Negara dan hubungannya dengan rakyat, seperti yang terdokumentasi dalam Ketetapan MPRS/MPR sejak tahun 1960 sampai dengan tahun 2003. Secara khusus ditemukan pula deskripsi dari perjalanan model kepemimpinan yang berpengaruh pada pergeseran kekuasaan dalam tata lembaga Negara Republik Indonesia. Jelasnya menelusuri ketetapan MPRS/MPR memunculkan sisi keunikan tersendiri dari sudut pandang lain dan menarik untuk ditelaah lebih lanjut dan dapat ditemukan penyebab-penyebab atau alasan-alasan terjadinya pergeseran kekuasaan tata lembaga negara di Indonesia yang selanjutnya dapat dijadikan gambaran dalam penataan lembaga negara Indonesiadi masa mendatang. Hal tersebut juga terkait dengan pernyataan dari Jimly Asshiddiqie yang menguraikan tentang ‘Pergeseran-Pergeseran Kekuasaan Legislatif dan Eksekutif, bahwa dalam mengamati berbagai masalah ketatanegaraan seharusnya tidak mengabaikan pertimbangan-pertimbangan historis yang berkaitan erat dengan dinamika perubahan.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau yang disingkat TAP MPR, merupakan salah satu wujud peraturan perundang-undangan yang sah dan legitimate berlaku di Negara Indonesia. Bahkan didalam hierarki peraturan perundang-undangan, TAP MPR memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan UU, Perpu, PP, Perpres dan Perda. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang menegaskan bahwa, jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas :
  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
  3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
  4. Peraturan Pemerintah;
  5. Peraturan Presiden;
  6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
  7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka TAP MPR dapat dikatakan sebagai salah satu sumber hukum. Meskipun dalam Undang-undang sebelumnya, yakni Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, TAP MPR tidak dimasukkan dalam hierarki perundang-undang, bukan berarti keberadaan TAP MPR tidak diakui. Akan tetapi norma yang diatur dalam setiap TAP MPR sejak tahun 1966 hingga tahun 2002 tetap diakui sebagai sebuah produk hukum yang berlaku sepanjang tidak digantikan dengan Undang-undang formal yang ditetapkan setelahnya.

Dimasukkannya kembali TAP MPR dalam tata urutan perundang-undangan berdasarkan apa yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, hanya merupakan bentuk penegasan saja bahwa produk hukum yang dibuat berdasarkan TAP MPR, masih diakui dan berlaku secara sah dalam sistem perundang-undangan Indonesia. Namun demikian, dimasukkannya kembali TAP MPR dalam tata urutan perundang-undangan tersebut, tentu saja membawa implikasi atau akibat hukum yang membutuhkan penjelasan rasional, agar tidak menimbulkan tafsir hukum yang berbeda-beda.

Berdasarkan TAP MPR No.I/MPR/2003 tidak semua ketetapan diberlakukan, hanya beberapa ketetapan saja yang masih berlaku. Walaupun sebagian besar ketetapan tersebut sudah tidak diberlakukan kembali, muatan ketetapan MPR (d/h ketetapan MPRS) dapat ditelusuri untuk dijadikan sumberpemahaman sejarah pergeseran kekuasaan pada tata lembaga Negara. Ketetapan MPR yang dikeluarkan sejak tahun 1960 hingga tahun 2002 secara implisit memuat dokumentasi dari perjalanan tata lembaga Negara di Indonesia. Upaya penelusuran ketetapan-ketetapan MPR adalah untuk memperoleh gambaran mengenai sejarah perkembangan tata lembaga negara yang pernah dan sedang berlangsung. Gambaran yang terdokumentasi dalam ketetapan-ketetapan MPR diharapkan dapat membantu mengisi kekurangan-kekurangan yang dihadapi oleh sistem ketatanegaraan Indonesia dalam penataan lembaga negaranya.

Dari semua jenis peraturan perundang-undangan di Indonesia ada yang menarik dari keberadaan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, selanjutnya disebut ketetapan MPR/TAP MPR, menarik dicermati karena pembentukan, kedudukan dan statusnya yang cukup unik.

Keunikan tersebut dapat dilihat dari proses awal pembentukan ketetapan MPR. Sumber dari ketetapan MPR adalah Pembukaan dan Batang Tubuh dari Undang-Undang Dasar Tahun 1945, selanjutnya disebut UUD 1945. Namun dalam UUD 1945 tidak ditemukan istilah ‘Ketetapan MPR’. Istilah tersebut baru muncul dari sidang-sidang pertama Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang bersumber pada pasal 3 UUD 1945 (naskah asli), disebutkan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) berwenang untuk menetapkan garis-garis besar haluan negara dalam arti luas. Berkaitan dengan kewenangan itulah dikenal produk MPR yaitu Ketetapan MPR (atau pada masa MPRS disebut ketetapan MPRS/TAP MPRS). Jadi istilah Ketetapan MPR lahir, tidak seperti peraturan perundang-undangan lain yang disebutkan secara tegas dalam UUD 1945.

Sumber Hukum :

  1. Undang-Undang Dasar 1945,
  2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
  3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
  4. TAP MPR No.I/MPR/2003.

Referensi :

  1. Aziz, Machmud. Jenis dan Tata Susunan/Urutan (Hierarki) Peraturan Perundang-Undangan Menurut UUD-RI dan UU Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
  2. http://myilmulintashukum.blogspot.co.id/2015/09/undang-undang-legislasi.html
  3. http://myilmulintashukum.blogspot.co.id/2015/10/hierarki-peraturan-perundang-undangan.html
  4. Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan-Jenis,Fungsi dan Materi Muatan, Kanisius, 2011,hlm. 45-48, 65-66 dan 76-78.
  5. http://myilmulintashukum.blogspot.co.id/2015/10/undang-undang-1945.html
  6. Abdul Hamid Saleh Atamimi, “UUD 1945-TAP MPR- Undang-Undang”, dalam Padmo Wahjono, “Masalah Ketatanegaraan (himpunan tulisan)”,Ghalia Indonesia,1984,hlm.131.
  7. Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi (Serpihan Pemikiran Hukum, Media dan HAM), Konstitusi Press, 2006, hlm. 32.
  8. Moh. Kusnardi dan Hamaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 1985,hlm.46.
  9. Jimly Asshidiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pegeseran Kekuasaan dalam UUD 1945,FH UII Press, 2004,hlm.39.
  10. Rachmani Puspitadewi, Kedudukan dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR-RI setelah Perubahan UUD 1945,Jurnal Hukum Pro Justitia vol. 25 no. 1, Feb. 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar