Pengertian Ketetapan MPR - Raison d’etre dari suatu negara atau alasan satu-satunya bagi eksistensi negara adalah kepentingan umum. Pernyataan tersebut dimuat oleh Franz Magnis-Suseno dalam
uraian tentang empat prinsip orientasi negara yang terkait dengan
tugas Negara dalam buku Etika Politik. Eksistensi dari negara tersebut
harus diwujudkan melalui tindakan negara untuk membawa kepentingan umum
mencapai tujuan negara. Salah satu tindakan negara dituangkan dalam
peraturan perundang-undangan. Indonesia, sebagai negara, memiliki
peraturan perundang-undangan untuk menuangkan tindakannya untuk mencapai
tujuan negara.
Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat, atau disingkat dengan Ketetapan MPR
atau TAP MPR, adalah bentuk putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang
berisi hal-hal yang bersifat penetapan (beschikking).
Pada masa sebelum Perubahan (Amandemen) UUD 1945, Ketetapan MPR merupakan Peraturan Perundangan yang secara hierarki berada di bawah UUD 1945 dan di atas Undang-Undang. Pada masa awal reformasi, ketetapan MPR tidak lagi termasuk urutan hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia.
Perubahan
Undang-Undang Dasar 1945 berdampak pula pada kedudukan ketetapan MPR,
yang tidak lain merupakan akibat dari perubahan terhadap kedudukan,
tugas dan wewenang MPR. Akibat tersebut juga berdampak kepada keberadaan
Ketetapan MPR.
Namun
pada tahun 2011, berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, Tap MPR
kembali menjadi Peraturan Perundangan yang secara hierarki berada di
bawah UUD 1945. Pimpinan
MPR sempat menyatakan bahwa kembali berlakunya Tap MPR pun tidak
serta-merta mengembalikan posisi MPR seperti kondisi sebelumnya,
dikarenakan pada era reformasi pembuatan Tap MPR baru tidak akan seperti
masa yang sebelumnya, mengingat peran pembuatan Undang-Undang (legislatif) pada era reformasi diserahkan sepenuhnya kepada Presiden dan DPR.
Perubahan UUD 1945
membawa implikasi terhadap kedudukan, tugas, dan wewenang MPR. MPR yang
dahulu berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, kini berkedudukan
sebagai lembaga negara yang setara dengan lembaga negara lainnya
(seperti Kepresidenan, DPR, DPD, BPK, MA, dan MK).
Berkaitan dengan Teori Jenjang Norma dari Hans Kelsen dan Hans Nawiasky, menurut Maria Farida Indrati Soeprapto, berdasarkan sistem norma hukum Negara Republik Indonesia, Pancasila adalah Staatsfundamentalnorm, kemudian UUD 1945 adalah Vervassungsnorm, selanjutnya Ketetapan MPR adalah Grundgezetsnorm. Ketiganya berupa Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara yang berada di atas Gesetznorm yaitu Undang-Undang. Namun demikian, Abdul Hamid Saleh Atamimi berpendapat
bahwa ketetapan MPR tidak secara langsung merupakan ‘penciptaan dalam
Pasal-Pasal’ dari norma dasar Pancasila, sehingga penetapan, perubahan
dan pencabutan ketetapan MPR tidak diperlukan persyaratan formal seberat
aturan (dasar) lain, akan tetapi tidak berarti aturan dasar yang
terkandung dalam ketetapan MPR dapat menyimpang aturan dasar lainnya,
karena dari norma dasar kepada aturan dasar sampai ke peraturan
perundang-undangan secara formal merupakan satu sistem norma hukum yang
padu.
Berdasarkan
uraian tersebut dapat pula disimpulkan bahwa ketetapan MPR memiliki
sifat yang lebih dinamis dibanding Pancasila dan UUD 1945.
Hal tersebut tercermin pula dari substansi ketetapan MPRS/MPR yang
secara tidak sekaligus menelusuri sejarah negara yang dinamis, terus
bergerak mengikuti alur yang terjadi dalam Negara dan hubungannya dengan
rakyat, seperti yang terdokumentasi dalam Ketetapan MPRS/MPR sejak
tahun 1960 sampai dengan tahun 2003. Secara khusus ditemukan pula
deskripsi dari perjalanan model kepemimpinan yang berpengaruh pada
pergeseran kekuasaan dalam tata lembaga Negara Republik Indonesia.
Jelasnya menelusuri ketetapan MPRS/MPR memunculkan sisi keunikan
tersendiri dari sudut pandang lain dan menarik untuk ditelaah lebih
lanjut dan dapat ditemukan penyebab-penyebab atau alasan-alasan
terjadinya pergeseran kekuasaan tata lembaga negara di Indonesia yang
selanjutnya dapat dijadikan gambaran dalam penataan lembaga negara
Indonesiadi masa mendatang. Hal tersebut juga terkait dengan pernyataan
dari Jimly Asshiddiqie yang menguraikan tentang ‘Pergeseran-Pergeseran Kekuasaan Legislatif dan Eksekutif,
bahwa dalam mengamati berbagai masalah ketatanegaraan seharusnya tidak
mengabaikan pertimbangan-pertimbangan historis yang berkaitan erat
dengan dinamika perubahan.
Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat atau yang disingkat TAP MPR, merupakan
salah satu wujud peraturan perundang-undangan yang sah dan legitimate
berlaku di Negara Indonesia. Bahkan didalam hierarki peraturan
perundang-undangan, TAP MPR memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan
dengan UU, Perpu, PP, Perpres dan Perda. Hal ini ditegaskan dalam Pasal
7 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang menegaskan bahwa, jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas :
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
- Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
- Peraturan Pemerintah;
- Peraturan Presiden;
- Peraturan Daerah Provinsi; dan
- Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Berdasarkan
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, maka TAP MPR dapat dikatakan sebagai salah satu
sumber hukum. Meskipun dalam Undang-undang sebelumnya, yakni
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
TAP MPR tidak dimasukkan dalam hierarki perundang-undang, bukan berarti
keberadaan TAP MPR tidak diakui. Akan tetapi norma yang diatur dalam
setiap TAP MPR sejak tahun 1966 hingga tahun 2002 tetap diakui sebagai
sebuah produk hukum yang berlaku sepanjang tidak digantikan dengan
Undang-undang formal yang ditetapkan setelahnya.
Dimasukkannya
kembali TAP MPR dalam tata urutan perundang-undangan berdasarkan apa
yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, hanya merupakan bentuk
penegasan saja bahwa produk hukum yang dibuat berdasarkan TAP MPR, masih
diakui dan berlaku secara sah dalam sistem perundang-undangan
Indonesia. Namun demikian, dimasukkannya kembali TAP MPR dalam tata
urutan perundang-undangan tersebut, tentu saja membawa implikasi atau
akibat hukum yang membutuhkan penjelasan rasional, agar tidak
menimbulkan tafsir hukum yang berbeda-beda.
Berdasarkan
TAP MPR No.I/MPR/2003 tidak semua ketetapan diberlakukan, hanya
beberapa ketetapan saja yang masih berlaku. Walaupun sebagian besar
ketetapan tersebut sudah tidak diberlakukan kembali, muatan ketetapan
MPR (d/h ketetapan MPRS) dapat ditelusuri untuk dijadikan
sumberpemahaman sejarah pergeseran kekuasaan pada tata lembaga Negara.
Ketetapan MPR yang dikeluarkan sejak tahun 1960 hingga tahun 2002 secara
implisit memuat dokumentasi dari perjalanan tata lembaga Negara di
Indonesia. Upaya penelusuran ketetapan-ketetapan MPR adalah untuk
memperoleh gambaran mengenai sejarah perkembangan tata lembaga negara
yang pernah dan sedang berlangsung. Gambaran yang terdokumentasi dalam
ketetapan-ketetapan MPR diharapkan dapat membantu mengisi
kekurangan-kekurangan yang dihadapi oleh sistem ketatanegaraan
Indonesia dalam penataan lembaga negaranya.
Dari semua jenis peraturan perundang-undangan
di Indonesia ada yang menarik dari keberadaan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, selanjutnya disebut ketetapan MPR/TAP MPR,
menarik dicermati karena pembentukan, kedudukan dan statusnya yang cukup
unik.
Keunikan
tersebut dapat dilihat dari proses awal pembentukan ketetapan MPR.
Sumber dari ketetapan MPR adalah Pembukaan dan Batang Tubuh dari
Undang-Undang Dasar Tahun 1945, selanjutnya disebut UUD 1945. Namun
dalam UUD 1945 tidak ditemukan istilah ‘Ketetapan MPR’. Istilah
tersebut baru muncul dari sidang-sidang pertama Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara (MPRS) yang bersumber pada pasal 3 UUD 1945 (naskah
asli), disebutkan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) berwenang
untuk menetapkan garis-garis besar haluan negara dalam arti luas.
Berkaitan dengan kewenangan itulah dikenal produk MPR yaitu Ketetapan
MPR (atau pada masa MPRS disebut ketetapan MPRS/TAP MPRS). Jadi istilah
Ketetapan MPR lahir, tidak seperti peraturan perundang-undangan lain
yang disebutkan secara tegas dalam UUD 1945.
Sumber Hukum :
- Undang-Undang Dasar 1945,
- Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
- Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
- TAP MPR No.I/MPR/2003.
Referensi :
- Aziz, Machmud. Jenis dan Tata Susunan/Urutan (Hierarki) Peraturan Perundang-Undangan Menurut UUD-RI dan UU Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
- http://myilmulintashukum.blogspot.co.id/2015/09/undang-undang-legislasi.html
- http://myilmulintashukum.blogspot.co.id/2015/10/hierarki-peraturan-perundang-undangan.html
- Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan-Jenis,Fungsi dan Materi Muatan, Kanisius, 2011,hlm. 45-48, 65-66 dan 76-78.
- http://myilmulintashukum.blogspot.co.id/2015/10/undang-undang-1945.html
- Abdul Hamid Saleh Atamimi, “UUD 1945-TAP MPR- Undang-Undang”, dalam Padmo Wahjono, “Masalah Ketatanegaraan (himpunan tulisan)”,Ghalia Indonesia,1984,hlm.131.
- Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi (Serpihan Pemikiran Hukum, Media dan HAM), Konstitusi Press, 2006, hlm. 32.
- Moh. Kusnardi dan Hamaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 1985,hlm.46.
- Jimly Asshidiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pegeseran Kekuasaan dalam UUD 1945,FH UII Press, 2004,hlm.39.
- Rachmani Puspitadewi, Kedudukan dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR-RI setelah Perubahan UUD 1945,Jurnal Hukum Pro Justitia vol. 25 no. 1, Feb. 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar